Terima kasih untuk semua pihak yang telah berpartisipasi pada Perayaan Natal di Panti Werdha Santa Anna, Minggu 21 Desember 2014. Semoga Tuhan membalas budi baik anda semua.

13 April 2008

(Art-1) Seandainya Romo Tidak Datang ke Indonesia?


Nama Romo Janssen pernah saya dengar walau tidak terlalu sering. Entah bagaimana saya akhirnya memutuskan akan pergi ke Malang untuk menemui romo, Hanya Tuhan yang Maha Tahu. Sebelum berangkat saya baca dengan teliti, Buku Kenangan 50 tahun Pesta Imamat Romo Janssen. Ada tertulis “sebenarnya romo memilih Chili dan bukan Indonesia setelah berkarya di Filipina”. Namun Tuhan menghendaki lain, 1 Mei 1950 romo akhirnya datang ke Indonesia.
20 Februari 2004 kami sudah berada di Wisma Bhakti Luhur, Tropodo, Sidoarjo. Tak kurang dari 200 orang klien yang menjadi binaan disini. Mereka terdiri dari anak-anak cacat ganda, anak-anak yatim/piatu dan para manula.
21 Februari 2004 menjelang siang, kami berangkat menuju Malang. Tanpa susah payah kami dapat diterima romo sekitar setengah jam di Jalan Seruni Malang. Sebenarnya kedatangan sore itu hanya untuk membuat janji, kapan kami bisa bincang-bincang dengan beliau. Namun saat itu, romo mulai membuka pembicaraan. Beberapa yang dikeluhkan romo diantaranya adalah sekolah yang tidak akses terhadap para penyandang cacat, kurangnya sikap nyata dari umat/masyarakat terhadap kaum papa. Orang lebih banyak datang untuk "melihat" dan menangis, setelahnya selesai. Bukan ungkapan nyata yang berkelanjutan.
22 Februari 2004 sore, kami menemui romo sekitar 2 jam. Setelahnya kami diantar Sr Ignatia Mudjijah ALMA (Pimpinan ALMA) mengunjungi Bhakti Luhur di komplek Seruni. Sampai dengan 24 Februari 2004, kami mengunjungi komplek Galunggung dan terutama komplek Dieng. Sungguh pengalaman yang baru buat kami, berada dalam satu komunitas “keluarga besar yang sama sekali tidak direncanakan”. Mereka datang dari segala macam kesulitan. Fisik dan non fisik. Kaum papa yang “tidak terjangkau”, termasuk oleh sanak keluarganya sendiri.
Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, 24 Februari 2004, saya bertanya dalam hati: “Seandainya romo tidak datang ke Indonesia, dimanakah ribuan anak-anak cacat, terlantar, miskin, para manula dan kaum papa lain yang selama ini dirawat di Bhakti Luhur sekarang berada?
Telah lebih dari 54 tahun romo ada di tengah-tengah kita. Biar bagaimanapun romo tetap manusia biasa, ada kelebihan dan juga kekurangannya. Namun yang pasti romo telah memberi andil yang cukup besar demi mengangkat martabat kemanusiaan, paling tidak bagi sebagian saudara-saudara kita di tanah air ini.
Kini pertanyaan buat kita semua, siapkah kita meneruskan karya romo. Karya besar untuk orang “kecil” yang belum terselesaikan dan memang tidak pernah terselesaikan? Semoga kita dapat dan mampu menjawabnya. (Yohannes Sugiyono Setiadi)