15 April 2008
Pastor Hendrikus van Opzeeland SJ, Perintis Berdirinya Paroki Santo Alfonsus dan Santo Lukas. "60 Tahun (1947-2007) Meneladani Santo Ignatius"
Pastor Hendrikus van Opzeeland SJ,
60 Tahun (1947-2007) Meneladani Santo Ignatius dengan Sikap dan Karya Nyata
“Perintis Berdirinya Paroki Santo Alfonsus dan Santo Lukas”
Pengantar
Kehadiran Gereja Katolik di Pademangan dan Sunter tak lepas dari peran besar Romo Hendrikus van Opzeeland SJ. Tahun 2007, ia merayakan 60 tahun bergabung dalam Serikat Jesus. Melalui surat elektronik, penulis berhasil mewawancarai beliau. Dan atas ijinnya, penulis sajikan hasil wawancara tersebut.
Dibesarkan di lingkungan keluarga sederhana
Pastor Hendrikus van Opzeeland SJ anak kedua dari lima bersaudara (Miep, romo, Jeanne, Wim dan Leny), dilahirkan di Rotterdam pada 28 Mei 1929. Ayahnya Johannes van Opzeeland dan ibunya Hendrika van Schendelen. Keduanya sudah tiada, juga Jeanne. Kala muda, Johannes van Opzeeland bekerja sebagai tenaga kasar pada perusahaan perbaikan kapal. Kemudian berwiraswasta dibidang instalasi air (termasuk pemasangan talang-talang air hujan) dan sanitair. Sebelum menikah, ibunya bekerja membantu keperluan rumah tangga keluarga seorang dokter.
Ia dibesarkan di perkampungan buruh kota besar. Sampai tahun 1940 kehidupannya berjalan damai. Ikut perkumpulan mudika, paduan suara paroki dan misdinar. Sampai disatu saat, perang mengubah kedamaian keluarga ini. Mengapa? Pada 10 Mei 1940 kota Rotterdam dibom oleh tentara Jerman. Seluruh pusat kota hancur dan terbakar. Mulailah okupasi Belanda oleh Jerman. Semua perkumpulan dilarang. Lama-kelamaan Rotterdam menjadi daerah tertutup akibat invasi sekutu. Tahun 1944 timbul kelaparan hebat. Banyak orang meninggal. Desember 1944, disaat puncak musim dingin, romo bersama kakak perempuan akhirnya harus berjalan kaki tiga hari ke Belanda timur untuk mencari makanan. Beruntung, sedikit gandum bisa dikumpulkan. Namun kesulitan belum berakhir. Mereka tidak dapat pulang, sebab perang masih berkecamuk. Akhirnya mereka tinggal lima bulan di daerah itu ditampung oleh keluarga buruh pabrik tekstil.
Usia 19 tahun datang ke Indonesia
Diusianya yang baru 19 tahun, ia menerima tugas perutusan awalnya sebagai seorang Jesuit muda. Berangkat ke Indonesia sebagai seorang misionaris. Desember 1948 dengan menumpang kapal barang ia tiba di Indonesia lewat Tanjung Harapan, ujung selatan Afrika. Waktu itu baru satu tahun masuk Serikat Jesus. Masih novis tahun kedua. Usia muda berada di negeri orang mempermudah Jesuit muda ini untuk belajar bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Tak heran romo yang ramah, sederhana dan rendah hati ini fasih berbahasa Jawa. Ia juga dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan iklim dan adat istiadat setempat. Setelah mengikuti pendidikan calon imam di Ungaran dan Jogjakarta, tahun 1960, bersama romo J Waskito SJ, ditahbiskan menjadi imam di gereja Santo Antonius, Kotabaru, Jogjakarta.
Sewaktu masih kecil ia bersama kaum muda di parokinya sebenarnya amat mengagumi Santo Johannes Bosco. Banyak teman-temannya akhirnya masuk Tarekat SDB (Salesian Don Bosco). Mengapa akhirnya bergabung di Serikat Jesus? Romo berkisah: “Di sekolah perdagangan menengah, dalam pelajaran sejarah gereja, saya mulai mengenal Santo Ignatius dan perjuangan para Jesuit pada masa reformasi. Juga karya mereka sebagai misionaris perintis di Amerika Selatan dan Asia. Saya tertarik sekali dan akhirnya merasa terpanggil untuk bergabung”. Romo Opzeeland datang ke Indonesia bersama romo G Oosthout SJ (kini berkarya di Yadapen, penyelenggara dana pensiun lembaga Katolik) dan romo J Waskito SJ.
Paroki Pademangan yang penuh kenangan
Setelah bertugas di Girisonta, Ungaran mendampingi para novis dan mengurus rumah tangga novisiat, tahun 1966, ia memperoleh tugas pertamanya di paroki. Datang ke Pademangan Jakarta Utara, menyiapkan terbentuknya paroki baru. Tentang pengalamannya berada di Pademangan beliau menyampaikan kenangan manisnya. “Hidup tujuh tahun bersama umat Pademangan merupakan masa bahagia bagi saya. Saat itu umat masih banyak yang harus berjuang untuk sesuap nasi. Yang mengesankan bagi saya ialah solidaritas antar mereka, kesederhanaan dan keterbukaan. Khususnya kaum muda. Saya bahagia hidup bersama mereka,” demikian romo yang memiliki hobi membaca, mendengarkan musik dan berjalan kaki ini. Dalam menjalankan tugasnya, beliau rutin berkeliling masuk keluar gang sempit dengan jubah putih dan sepeda ontelnya. Menyapa dengan ramah siapapun yang dijumpainya. Itu yang penulis ingat, sekitar 40 tahun silam.
Sejarah berdirinya Paroki Pademangan dan Sunter
Mengenai sejarah berdirinya Paroki Pademangan dan Sunter, beliau menulis dalam surat elektroniknya. “Sebenarnya Pademangan (waktu itu sering disebut Kalimati) terdiri dari tiga wilayah: Rajawali Selatan, Industri dan Pademangan baik timur maupun barat. Umat wilayah Industri waktu itu baru mulai tumbuh. Umat Rajawali Selatan amat aktif membantu calon paroki ini untuk berkembang. Tetapi umat kebanyakan tinggal di wilayah Pademangan. Kecuali beberapa guru dari sekolah katolik di wilayah Mangga Besar umat terdiri dari orang-orang yang datang dari luar Jawa yang mengadu untung di ibukota,” Tentang asal usul penamaan pelindung paroki Santo Alfonsus, beliau menulis: “Ketika wilayah itu akan diresmikan menjadi paroki, diperlukan seorang santo/ta pelindung. Atas permintaan umat saya mengajukan beberapa santo/santa. Akhirnya mereka memilih Santo Alfonsus, seorang bruder Serikat Jesus. Santo Alfonsus adalah seorang pedagang kain yang telah berkeluarga dan mempunyai dua anak. Ia mengalami perjuangan berat. Pertama kedua anaknya itu meninggal; kemudian isterinyapun meninggal; dan akhirnya usaha dagangnya bangkrut. Kemudian ia masuk ordo Serikat Jesus dan untuk sisa hidupnya ia ditugaskan sebagai portir di suatu sekolah Jesuit. Umat Pademangan memilih Alfonsus ini karena lebih dekat dengan perjuangan mereka sendiri,” Tentang Paroki Sunter, romopun berkisah. “Sunter waktu itu masih merupakan wilayah empang yang amat luas. Pada awal tahun tujuhpuluhan saya mulai mengunjungi beberapa keluarga di tengah empang-empang itu. Jalan kaki melalui galengan bersama Bapak Michael Bala Koban, sekretaris paroki. Ada keluarga yang meminta pelajaran agama. Namanya Bapak Tono. Bapak Tono ini yang kemudian menjadi perintis untuk membangun sebuah ruang kelas yang pada hari Minggu bisa dipakai sebagai kapel. Dan ini yang menjadi awal mula dari stasi dan paroki Sunter,” tulis romo dalam surat elektroniknya.
Berdirinya STM Strada di Rajawali Selatan, Jakarta Pusat
Tahun 1969, romo mendirikan STM (kini SMK) Strada di Rajawali Selatan Jakarta Pusat. Sekolah kejuruan teknik yang punya nama besar sampai saat ini. Alasan mendirikan sekolah itu, beliau bercerita. “Waktu itu di Pademangan ada begitu banyak orang muda yang menganggur, tidak bisa dapat pekerjaan. Pada waktu yang sama industri di sekitar Jakarta mulai berkembang dan membutuhkan banyak tenaga teknik. Situasi ini menimbulkan impian saya, seandainya ada sekolah teknik, maka kaum muda itu bisa disiapkan untuk mengisi lowongan-lowongan itu,” Penyelenggaraan Ilahi membuat mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Menurutnya ada tiga kejadian yang tak terduga sama sekali. Pertama terjadi rasionalisasi tenaga teknisi Garuda. Di Rajawali Selatan Jakarta Pusat, ada beberapa ahli yang pensiunnya dipercepat. Hal kedua ialah penawaran sebuah gudang besar, konstruksi baja, di Rajawali Selatan. Gudang ini amat cocok untuk perbengkelan pendidikan teknik. Yang ketiga ialah kunjungan wakil suatu organisasi bantuan Jerman, yang tertarik untuk membantu ‘proyek sekolah teknik’ ini dengan peralatan/mesin-mesin. Ketiga hal ini yang akhirnya memungkinkan berdirinya STM Strada. Saat-saat STM Strada dan umat memerlukan perhatian lebih darinya, tahun 1970 romo terkena penyakit kanker.
“Pada tahun 1970 saya terkena kanker kelenjar gondok. Puji Tuhan saya dapat diselamatkan,” demikian kesaksian beliau.
Bersyukur dapat melayani
Sudah empatpuluhtujuh tahun romo Opzeeland berkarya sebagai imam Jesuit. Hampir 60 tahun beliau berada di tengah-tengah kita. Tentang hal ini ia menyampaikan kesannya. “Saya amat bersyukur bahwa saya boleh melayani umat di Indonesia, bahkan menjadi orang Indonesia. Saya sendiri sungguh diperkaya oleh kebudayaan dan pergaulan dengan umat di aneka tempat dan situasi. Saya bersyukur karena boleh menyaksikan dari dekat perkembangan Gereja kita. Perkembangan yang luar biasa ini adalah buah dari kehadiran, teladan dan pergaulan umat sendiri di tengah masyarakat. Banyak pribadi yang bahkan tak kenal lelah memberikan diri, waktu dan tenaganya. Dengan setia berkarya sebagai katekis, ketua lingkungan, aktivis kaum muda, pengurus RT atau RW, anggota perkumpulan ibu-ibu, prodiakon atau sekretaris paroki, dan masih banyak lagi. Semua itu adalah dalam rangka pembinaan dan pengembangan umat. Tanpa mereka buah-buah itu tidak mungkin. Saya hanya memetik buah-buah itu. Merekalah yang menanam. Saya sungguh terkesan dan merasa didukung oleh dan berhutang budi kepada mereka semua,”
Kembali ke Jogjakarta
Sejak 1992 sampai sekarang, romo bertugas di Universitas Sanata Dharma, Jogjakarta, sebagai Bendahara Pengurus Yayasan. Dengan tugas ini ia merasa masuk dalam suatu dunia baru. Dunia pendidikan universiter. Romo merasakan mendapat banyak inspirasi baru. “Saya dapat belajar banyak dan diikutsertakan dalam hal menata keuangan universitas. Boleh menyumbang pengetahuan dan pengalaman saya yang terbatas dan ikut mengembangkan kualitas hidup merupakan berkat bagi saya,”. demikian romo yang bersama tim ahli telah merampungkan kampus baru Universitas Sanata Dharma di kampung Paingan, Jogjakarta Utara.
Keakraban, solidaritas dan panggilan
Menutup surat elektroniknya, beliau berpesan dan menyampaikan harapannya. “Harapan saya bagi umat Gereja, semoga keakraban dan solidaritas antar umat dan dengan masyarakat sekitarnya semakin berkembang. Dengan demikian mereka akan menjadi tanda kasih Allah yang dirindukan. Saya berdoa pula semoga di antara kaum muda ada yang berani menjawab panggilan Tuhan untuk mengikuti jejakku dan jejak para perintis lainnya,” demikian pesan romo yang pernah bertugas di KAJ sebagai pastor paroki (1973), sekretaris Uskup (1977) dan bendahara KAJ (1983).
Yohannes Sugiyono Setiadi
yssetiadi@yahoo.com.au