Terima kasih untuk semua pihak yang telah berpartisipasi pada Perayaan Natal di Panti Werdha Santa Anna, Minggu 21 Desember 2014. Semoga Tuhan membalas budi baik anda semua.

15 April 2008

Aku Ikut Jalan-MU Bukan Jalanku


Tema Pra Paskah 2004 ini adalah seputar mengelola konflik, termasuk mengelola konflik batin. Itu saya alami ketika saya harus mengambil suatu keputusan. Keputusan yang menentukan masa depan diri saya sebagai seorang suster. Mudah-mudahan ada gunanya untuk bahan refleksi.
Perjalanan panggilan di Tarekat Suster ALMA dan pengalaman hidup bersama dengan mereka yang cacat, miskin dan terlantar saya jalani lebih kurang 10 tahun. Di ALMA biasanya setiap anggota mengalami tahapan tahun rohani. Dari perkenalan, aspiran, postulan, kandidat, pembentukan, kaul sementara (medior) hingga kaul kekal (senior). Tiap anggota yang baru masuk langsung dikenalkan dengan karya, yaitu hidup serumah, sekamar, tapi beda tempat tidur dengan mereka yang menderita. Setelah maju di tahap aspiran, saya langsung diberi tanggung jawab oleh pimpinan rumah untuk memegang seorang anak. Ini berati saya harus bertanggung jawab mengatur dan memperhatikan semua kebutuhan anak tersebut. Anak itu adalah Sugeng.
Sugeng adalah anak kedua dari dua bersaudara. Lahir secara prematur dalam usia 6 bulan kandungan (Di Kediri, Jawa Timur pada 14 Januari 1994). Sugeng tidak pernah mengalami atau merasakan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Ibunya stress, karena tidak menerima keadaan anaknya. Usia 4 hari Sugeng langsung diserahkan ke Yayasan Bhakti Luhur Malang. Setelah usia 1,5 tahun, Sugeng dipercayakan kepada saya untuk dirawat. Kondisi badannya sangat lemah, kepalanya terutama di bagian dahi dan ubun-ubun berwarna kemerah-merahan, jika dipegang bergoyang seperti air yang ada dalam kantong plastik, karena ada cairan dalam rongga kepalanya yang biasanya disebut dengan "Cerebral Palsy" (CP) yaitu kelayuan atau kelumpuhan otak. Jari-jari kedua tangan dan jari-jari kedua kakinya berhimpitan dengan bau yang tidak sedap, menyedihkan dan menjijikan seperti monster jika dipandang mata.
Awalnya saya benar-benar takut kalau melihat dan berdekatan dengan Sugeng apalagi selama hidup di kampung Manggarai Flores, saya belum pernah melihat orang cacat seperti Sugeng. Saya berontak dan berbagai pertanyaan muncul dalam hati saya. Mengapa saya harus memegang anak ini? Mengapa jadi suster seperti ini tidak seperti suster-suster yang saya kenal sebelumnya? Suster 'kan tidak hidup dengan anak seperti ini? Bertahankah saya hidup bersama anak seperti ini?
Kebetulan kondisi fisik Sugeng masih lemah sehingga harus bergabung dengan anak penderita CP lainnya, di ruangan khusus yang setiap harinya didampingi oleh perawat yang berpiket, sehingga masih ada kesempatan untuk tidak selalu dekat dengan Sugeng.
Dalam pergumulan ini yaitu semakin saya tidak memperhatikan Sugeng, banyak sekali tantangan yang saya hadapi yaitu masalah pribadi dan masalah keluarga. Pimpinan sepertinya mengetahui situasi yang saya hadapi. Beliau memberikan bimbingan dan nasehat, bahwa Sugeng adalah jelmaan dari Yesus sendiri, mengabdi diri untuk Tuhan berarti melayani dan mengabdi untuk mereka yang menderita, maka teringatlah saya akan sabda Tuhan, "Jikalau kamu melakukan untuk seorang yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku". Kata-kata dalam kalimat inilah yang selalu terngiang dalam ingatan saya, apabila muncul keinginan untuk tidak mendekatkan diri pada Sugeng.
Sebagai anggota dan calon ALMA kami selalu mendapatkan bimbingan rohani dari pendiri kami Romo Paulus Hendrikus Janssen CM. Setiap hari Jumat ada spiritualitas dan rekoleksi. Setiap akhir atau awal bulan, para romo dari biara lainnya dan para senior ALMA, memberikan bimbingan secara pribadi maupun kelompok. Selain itu dari saya pribadi, saya terus berusaha untuk membentuk diri sendiri dan tetap berdoa, memohon rahmat untuk mencintai dengan sepenuh hati dan menerima Sugeng apa adanya. Dengan dukungan dan bimbingan, perlahan-lahan hati ini luluh dan timbul rasa belas kasihan, akhirnya saya jatuh cinta pada Sugeng.
Saya mulai mengurus dan merawat Sugeng dengan penuh cinta. Sugeng merasakan suatu kebahagiaan, mulai ada kontak, termasuk kontak batin. Jika saya menyapanya dia tertawa sambil bertepuk tangan atau ketika mendengar suara saya, walau dia masih tidur, Sugeng langsung bangun menggerakkan kedua tangannya untuk menunjukkan rasa gembirannya.
Didukung dengan berbagai latihan yang sesuai dengan kemampuannya, dan tidak terlepas dari kerjasama dengan para pemberi terapi yaitu, fisio teraphy, speech teraphy, akhirnya Sugeng dapat masuk Play Group. Sugeng semakin pintar menyanyi, menari dan berjalan sendiri. Jika ada acara, dia sudah berani tampil di panggung. Setiap ada kunjungan dari tamu, Sugeng selalu dilatih untuk memberi salam dengan berjabat tangan. Saya ikut bahagia jika dia bahagia maupun sebaliknya.
Saya masih ingat suatu ketika ada seorang ibu dan suaminya berkunjung ke Bhakti Luhur Malang. Mungkin ibu ini belum pernah melihat anak cacat. Saya sedang menggendong Sugeng. Waktu melihat Sugeng, ibu ini lari memeluk suaminya sambil berteriak: "Suster, anak itu menjijikkan ... aku takut!" Dalam hati saya berkata: "Tuhan, ampunilah ibu ini, sebab ia tidak tahu apa yang dia katakan". Pengalaman Ibu ini mengingatkan saya kembali pada pengalaman awal. Seandainya Sugeng seperti saya atau anak normal, pasti Sugeng menangis dan hatinya sakit.
Pada usia 3,5 tahun Suster Xaveria mengantar Sugeng ke RS RKZ Surabaya untuk dioperasi jari kaki dan tangannya, sehingga jari-jarinya dapat terpisah. Namun jari tangannya masing-masing hanya empat kiri dan empat kanan. Walaupun keadaannya seperti itu, tapi Sugeng tetap bahagia dengan menyanyi dan dapat menghibur para suster yang merawatnya di rumah sakit itu.
Usia 4,5 tahun Sugeng berangkat ke Australia untuk operasi kepalanya. Semua berkat kebaikan Ibu Patricia orang Amerika Serikat yang baik hati dan membeayainya. Sebelum berangkat, saya mengurus surat-surat dan keperluan administrasi lainnya di kantor Imigrasi Malang. Sugeng tetap saya gendong. Banyak orang bertanya "Apakah Sugeng anak atau adik saya?" Karena melihat wajah saya dengan Sugeng semakin mirip saja, saking cintanya, Sugeng jadi sangat berarti bagi hidup saya.
Kemudian saya dipindah ke Jakarta, sebelum Sugeng berangkat ke Australia. Karena peraturan Tarekat ALMA, seorang ALMA harus taat pada perutusan dan rela meninggalkan anak yang dicintainya dan hidup menurut nasehat Injil yaitu "Ketaatan, Kemurnian dan Kemiskinan".
Di Jakarta saya dipercayakan pimpinan untuk bertanggung jawab memegang satu wisma dengan beberapa anak dan beberapa perawat, juga suster. Namun saya tetap enjoy dengan mereka. Satu bulan di Australia dan kembali ke Indonesia, Sugeng tambah pintar dan cakep, sekarang sudah kelas 3 SD Terpadu Bhakti Luhur Malang.
Untuk dapat menerima dan mencintai anak cacat merupakan suatu proses yang memerlukan perjuangan. Ternyata saya di beri kesempatan oleh Tuhan untuk menikmati suatu anugerah yang besar, yang tidak Tuhan berikan kepada semua orang.
Saya bersyukur karena di pakai-Nya untuk memberikan cinta kasih kepada Sugeng, sehingga Sugeng dapat menikmati dan mengenal Tuhan bahwa dirinya dicintai Tuhan.
Dan saya selalu berdoa semoga banyak orang terpanggil untuk melakukan Karya Cinta Kasih Tuhan kepada mereka yang menderita seperti Sugeng dalam hal waktu, tenaga dan materi.
"Terima kasih Tuhan, Engkau telah menuntun saya untuk ikut JalanMu dan bukan jalanku" (Jakarta, Februari 2004, Sr Rosalia K Dima, ALMA)